Syukur Saya Muslim Indonesia


Lepas imsak beberapa hari lalu, tidak sengaja saya melihat sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta. Semacam jelajah religi. Temanya tentang saudara dari timur. Maksudnya adalah saudara muslim yang hidup di negara-negara timur tanpa ada peninggalan peradaban atau sejarah Islam di sana. Sehingga Islam menjadi minoritas. Saya tidak menonton acara tersebut utuh sih, hanya satu sesi awal kurang lebih lima hingga sepuluh menit karena berbenturan dengan waktu sholat Subuh.

Dalam tayangan itu, mereka--saudara seiman kita di Jepang-- melakukan berbagai
aksi perjuangan agar diakui dan diberi hak untuk dapat beribadah secara merdeka. Mulai tempat ibadah di ruang publik hingga penyediaan makanan halal. Saya yakin kalau itu tidak mudah. Namun semangat mereka masih menyala untuk survive di bumi Allah, apapun nama negara tempat mereka berpijak.

Lalu saya tertegun, bagaimana jika saya berada dalam posisi mereka? Tenggelam dalam sebuah mayoritas yang tidak sejalan dengan keyakinan keimanan saya.

Beberapa detik kemudian saya pun bersyukur. Allah menakdirkan saya lahir dan hidup di sini, di Indonesia. Di mana pemimpin bangsa ini memberi kebebasan untuk melaksanakan ibadah sebebas-bebasnya. Tapi tentu saja kebebasan ini harus dijalankan dengan baik, bukan asal-asalan. Bagaimana pun, kebebasan ini tidak sekonyong-konyong saya dapatkan secara gratis. Ada keringat dan darah para ulama terdahulu, jika kita bersedia mengulik sejarah lahirnya Islam di Indonesia.

Tentu tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah Muhammad SAW jika kita berlisan syukur tapi kosong dalam aplikasi berkehidupan sehari-hari. Sebab syukur tidaklah sempit hanya berupa kata "terima kasih."

Pare, 14062017

*Tulisan ini telah saya posted di facebook pada hari yang sama