Apa yang Membuat Anda Gagal Sebagai Orangtua?


Pernah tidak pertanyaan di atas (judul) muncul di benak Anda? Kalau saya pernah. Pertama kali perasaan itu muncul ketika mendengar bahwa anak saya yang saat ini berusia 2,5 tahun memukul bahkan menjambak rambut teman sebayanya. Ya Allah … benar-benar saya merasa gagal seketika itu.
.
Ceritanya, anak saya bermain dengan beberapa anak kecil yang seusia di rumah tetangga. Saya nungguin, takut kalau ada apa-apa, kan… Tapi saya duduk-duduk di luar (teras) karena si kecil polah kesana kemari bersama temannya. Lalu orangtua dari salah satu anak (empunya rumah) bilang kalau kemarin pas main anak saya sudah memukul dan menjambak anaknya. Spontan saya kaget! Karena
saya tidak mengajari anak seperti itu. Pasti ada yang salah, batin saya.
.
Setelah di rumah, saya bertanya ke si kecil perihal laporan tadi. Namanya bocah, dia tidak menjawab pertanyaan saya. Hanya diam sambil seolah-olah sedang berpikir. Saya melihat dari ekspresi bola matanya yang ia gerak-gerakkan ke kanan-kiri.
.
Karena tidak mendapat jawaban, saya tidak lantas memarahinya atas sikap yang dilaporkan pada saya. Saya masih berpikir pasti ada yang salah. Saya yakin seorang anak selalu memiliki alasan saat melakukan sesuatu. Hal buruk sekali pun. Selain itu, kemarahan orangtua hanya akan menimbulkan efek buruk dan trauma pada anak. Ujungnya si anak akan semakin buruk perangainya.
.
Beberapa hari selanjutnya, saya terus mengawasi gerak (main) si kecil saat berkumpul dengan anak-anak lain. Saya amati setiap hal. Dan setelah sekian hari saya menemukan jawaban.
.
Anak yang dilaporkan sebagai korban oleh orantuanya, hari itu marah dan memukul saat barang miliknya terpegang oleh anak saya. Entah sengaja atau tidak saya tidak mengetahuinya. Kemudian anak saya hendak membalas memukul. Karena saya melihat kejadian itu sendiri, saya langsung mengontrol anak saya untuk tidak memukul balas. Saya gunakan bahasa yang halus agar dirinya lupa akan emosi tadi.
.
Dari sanalah saya tahu bahwa apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya adalah pembelaan diri anak saya, seperti kejadian tadi. Tentu saja, pembelaan diri dengan gaya itu (memukul) terbentuk karena dia melihat temannya bisa melakukan hal buruk itu saat marah, lantas kenapa aku tidak? Kira-kira begitu perasaan hatinya, mungkin. Hanya saja ia belum bisa mengekspresikanmelalui cara yang lebih baik.
.
Setelah itu, saya menanamkan pada si kecil untuk bisa mengomunikasikan apa yang dirasakan emosinya, entah marah, bahagia, kecewa, atau sedih. Agar tidak lagi ada kejadian serupa yang tentu tidak baik untuk pembentukan karakter dan masa depannya. Pembimbingan ini serupa dengan beberapa literasi yang saya baca terkait cara mencegah anak melakukan kekerasan fisik.
Bersyukur, apa yang saya usahakan itu berhasil. Anak saya akan mengatakan apapun yang dirasakannya. Seperti saat seseorang lain tidak sengaja menyenggol bagian tubuhnya atau ada sesuatu yang diinginkan. Hingga hari ini.
.
Jadi jelas sudah. Anak adalah peniru ulung. Selain karena naluri menyelamatkan diri yang telah ada secara fitrah, anak dapat melakukan tindakan-tindakan fisik karena ia melihat lalu meniru. Karenanya menjaga dan mengawasi betul-betul segala polah anak sangatlah perlu. Agar kita tahu dan memahami dunia mereka serta cara pembimbingannya. Bagaimana pun anak adalah titipan yang harus dijaga dengan baik. Mereka juga investasi akhirat orangtuanya.
.
Sungguh, peribahasa ini berlaku sampai kapan pun.
"Siapa menanam, dia yang akan menuai."
.

Tulisan di atas seperti yang saya posted di www.facebook.com/rini.indah.tw di Pare, 09062017