Anak Tidak Terkontrol? Cek Yuk!

Percaya atau tidak, saya sudah membuktikan hal ini. Sebenarnya terjadi secara tidak sadar atau tanpa sengaja. Namun dari sana saya yakin bahwa pengalaman adalah guru berharga.

Putriku termasuk anak yang aktif. Namun alhamdulillah masih bisa terkontrol sejak ia mulai bisa diajak komunikasi 2 arah. Mungkin terasa aneh, karena mayoritas anak aktif cenderung 'liar' polahnya tidak terkendali. Jadi rahasianya apa?


Saat putriku bisa bicara dengan lebih jelas (meski terkadang hanya saya yang mengerti artinya), dia suka berkata ini-itu. Usianya belum genap 2 tahun kala itu. Awalnya saya lebih menganggapnya sebagai celoteh anak yang nggak penting. Bahkan tak jarang raga saya menemani dia bermain, tapi ruh saya ada di layar ponsel.. main sosmed 😂 Alhasil, polahnya luar biasa. Suka merajuk, sering menangis bahkan menggulung-gulung badan di lantai. Ya Robbi.. 😭

Di lain kesempatan, ada momen saya lebih nyaman menghabiskan hampir seluruh waktu bersamanya. Menemani bermain, dia menemani saya memasak atau mencuci, menonton tv dan sebagainya. Saya biarkan imanjinasinya untuk ikut (meniru) apa yang saya kerjakan. Dengan catatan tidak berbahaya baginya.
Di sela-sela aktifitas kami, dia akan berceloteh ria. Bertanya ini-itu, mengatakan begini-begitu, dimana menuntut untuk diberi respon, entah hanya kata ya, ooh gitu, he'em, dan sejenisnya. Meski demikian mungkin dia sudah merasa puas. Dan saya yakin kepuasan itu memengaruhi psikis dan tingkah lakunya menjadi baik, aman dan terkontrol.

Maka Analisa jadi-jadian saya seperti ini :
1. Saat kondisi saya lebih banyak mengabaikan dia, pasti hatinya terluka, kecewa, sedih meski mungkin tidak benar-benar diungkapkannya. Selain hanya merajuk atau menangis. Sehingga ketika saya menyampaikan sesuatu padanya, seperti permintaan dan nasehat, maka ia pun akan abai. Jika dia bisa mengungkapkan isi hati kecilnya mungkin begini, "Aku aja dicuekin, kenapa aku harus dengerin dan nurutin Ibu?"
Dari sinilah ia menjadi tidak terkontrol.

2. Jika saya lebih mendengarkan dan memerhatikan, merespon positif ketika dia mengajak komunikasi, dia merasa ada. Dia bahagia memperoleh apa yang diinginkan. Sehingga ada kepuasan batin. Maka ketika saya menyampaikan permintaan atas sesuatu pasti akan berhasil, seperti, "Tolong sandalnya dipake sendiri ya, Nak."

Atau sebuah nasehat begini,
"Kuku Hanief ada item-itemnya itu kuman lho…harus dibersihkan harus dipotong kukunya biar kumannya nggak masuk ke perut. Kalau masuk perut nanti perut Hanief sakit kayak kemarin." (Kebetulan dia pernah BAB hingga ia bilang perutnya sakit, sehingga kondisi itu aku jadikan alasan agar akalnya menerima apa yang saya katakan).
Hasilnya, sampai sekarang dia tidak pernah menolak untuk dipotong kuku. Bahkan sebelum panjang, ia sudah lebih dulu minta potong kuku kalau melihat ada hitam-hitam di sela-sela kukunya. 🤗

Dan banyak permintaan-permintaan saya lainnya yang berhasil dan hampir selalu dijawabnya dengan "nggeh" atau "ya".

Nah, begitulah … Sampai saat ini 2 hukum kondisi di atas masih berlaku kalau-kalau saya sedang khilaf ingin menikmati me time yang bukan saatnya hehe.. Tapi ketika tersadar, saya akan segera menghilang dari peredaran jagad sosmed dan memperbaiki anak saya…ah, tepatnya memperbaiki diri saya untuk si kecil.

Jadi kesimpulan dari tulisan ini,
Dibanding gadget, sebaiknya lebih utamakan memberi perhatian pada anak. Karena hitam-putih dan baik-buruknya anak tergantung orangtuanya. Cara pendekatan dan pembimbingan yang baik dan lembut akan lebih berharga dan bermakna pada benak buah hati tercinta.

Pare, 14062017

*tulisan ini seperti yang saya posted di facebook pada 12 Juni 2017 (edited)